"You either with us, or with them, against us (Kamu bersama kami, atau bersama mereka, sebagai musuh kami).” Begitulah perkataan Presiden George Walker Bush, tahun 2001 yang dikenal dengan istilah politik“stick and carrot”. Dimana setiap negara yang mengikuti agendanya akan diberikan dukungan (dana), sebaliknya bagi yang menolaknya akan diperangi.
Bahkan Bush sendiri mengatakan ini adalah perang salib (crusade),”this crusade, this war on terrorism is going to take a while" (Ini perang Salib, perang yang memakan waktu yang sangat panjang). Sebagai bukti keyakinannya bahwa ini merupakan perang ideologi, ia menegaskan kepada dunia untuk memilih salah satu dua opsi yang di tawarkan, tidak ada pilihan ketiga. Kebijakan politik ini pun kemudian disambut secara luas oleh negara-negara di dunia, termasuk indonesia.
Semua negara dipaksa untuk bergabung dengan Amerika memerangi apa yang mereka sebut sebagai teroris. Amerika di bawah pemerintahan George W Bush tak memberi pilihan kepada negara-negara dunia kecuali ikut bersama dengan Amerika atau bersama teroris—berarti musuh Amerika.
Hanya sebulan setelah peristiwa 11 September 2001, Amerika langsung menyerang Afghanistan. Alasannya, negara tersebut menjadi basis Alqaida tempat Osama bin Laden diduga berada. Pemerintah Taliban yang berkuasa di sana pun dihancurkan dengan alasan punya hubungan dengan Osama bin Laden. Buktinya apa? Itu yang tak pernah ditunjukkan.
Tidak cukup mencari Alqaida, AS pun menginvasi negeri itu tanpa perlu meminta persetujuan Dewan Keamanan PBB. Tentara Salib itu tak sendiri tapi mengajak negara-negara yang tergabung dalam NATO. Sudah ratusan ribu warga tewas karena sepak terjang mereka. Pejuang Afghanistan yang ingin melawan Amerika dan NATO pun dianggap sebagai teroris.
Tahun 2003, Amerika meluaskan invasinya. Irak menjadi sasaran berikutnya. Tanpa ada mandat PBB, Amerika menumbangkan rezim Saddam Hussein dan menjarah negeri 1001 Malam itu hingga sekarang. Invasi itu didasari sangkaan bahwa Irak memilliki senjata pemusnah massal. Senjata ini dianggap bisa membahayakan Amerika dan sekutunya dan bisa dimanfaatkan oleh jaringan teroris.
Tahun 2003, Amerika meluaskan invasinya. Irak menjadi sasaran berikutnya. Tanpa ada mandat PBB, Amerika menumbangkan rezim Saddam Hussein dan menjarah negeri 1001 Malam itu hingga sekarang. Invasi itu didasari sangkaan bahwa Irak memilliki senjata pemusnah massal. Senjata ini dianggap bisa membahayakan Amerika dan sekutunya dan bisa dimanfaatkan oleh jaringan teroris.
Hampir delapan tahun lamanya Amerika bercokol di Irak, senjata pemusnah massal itu tak ditemukan. Namun Amerika tetap saja tak mau beranjak dari negeri yang kaya minyak tersebut. Lebih sejuta orang telah menjadi korban kekejian Amerika ini, termasuk Presiden Saddam Hussein yang dihukum gantung.
Seperti halnya di Afghanistan, Amerika menjanjikan demokratisasi di Irak. Nyatanya justru perpecahan yang muncul. Irak porak-poranda, sama dengan Afghanistan. Kehidupan yang lebih baik jauh panggang dari api. Fakta menunjukkan kedua negara malah masuk ke jurang keterpurukan.
Pemerintahan yang dibentuk di kedua negara tersebut sama sekali tak mencerminkan indenpendensi sebagaimana jargon demokratisasi. Rezim penguasa menjadi kepanjangan tangan alias antek Amerika. Mereka inilah yang menyerahkan kekayaan negaranya dan menjaga kepentingan Amerika di wilayahnya. Rakyat kedua negara tak bisa menentukan nasibnya sendiri. Lalu di mana demokrasinya?
Kebohongan demi kebohongan Amerika kian hari kian terkuak. Jika benar, serangan AS ke Afghanistan untuk mengejar Alqaida, khususnya Osama bin Laden, seharusnya Amerika menarik pasukannya begitu Osama telah didapatkan. Nyatanya, Amerika tetap ongkang kaki di sana.
Kathleen Christison, seorang pengamat dari Amerika Serikat dan mantan analis CIA, meyakini Osama bin Laden hanya sebuah alasan dan alat bagi Washington untuk mengobarkan perang. Menurutnya, meski telah mengumumkan kematian pemimpin Al Qaeda itu, AS masih terus melanjutkan kebijakan ekspansifnya.
Begitulah, isu terorisme hanyalah merupakan alat politik AS untuk melanggengkan arogansinya sebagai negara adikuasa. AS sangat berambisi untuk mengatur seluruh dunia berdasarkan kepentingannya. Isu terorisme sengaja AS hembuskan untuk membenarkan tindakan mereka. Tetapi pada dasarnya, sasaran sentral mereka adalah umat Islam.
Agresi militer yang dilancarkan AS di Afganistan dan Irak, semakin nyata membuktikan bahwa mereka tidak hanya mengejar terorisme. Tindakan agresif yang dilakukan AS sebenarnya adalah untuk menghancurkan ideologi Islam yang telah banyak disinyalir oleh para pakar Barat sendiri sebagai ancaman berikutnya bagi ideologi kapitalisme pasca runtuhnya Komunisme.
Isu pemberantasan terorisme ini hingga kini dijadikan kebijakan politik luar negeri AS dan sekutunya untuk meraih dukungan negara-negara di berbagai belahan dunia dalam rangka untuk memenangkan ideologi Kapitalisnya.
Semua itu dalam rangka untuk menancapkan hegemoninya di dunia Islam. Karenanya selama ini isu perang melawan terorisme di Indonesia tidak pernah surut, bahkan dibuat sedemikian rupa supaya masih terus tetap aktual. Yang jelas, isu ini dijadikan alasan utama bagi mereka dalam memerangi pemikiran, organisasi, atau perjuangan yang berusaha melawan ideologi dan kepentingan Barat.
Definisi terorisme menurut mereka tertuju kepada kelompok atau individu Muslim yang secara fisik atau non fisik mengancam kepentingan global imperialisme Barat.
Sehingga kini makin jelas kelihatan, siapa sesungguhnya yang dimaksud teroris oleh Amerika (Barat dkk). Ternyata tidak hanya mereka yang melakukan aksi pengeboman (kekerasan), tetapi termasuk juga mereka yang memiliki pandangan lain yang bertentangan dengan pandangan Amerika. Yakni orang-orang yang ingin menegakkan syariat Islam sebagai ideologi dan jalan hidupnya. Demikian pula gerakan Islam yang konsisten dengan ajarannya (syariat Islam) masuk dalam kategori ini.
Julukan demi julukan, apakah teroris, radikalis, fundamentalis, Islam garis keras dan sejenisnya senantiasa disematkan kepada orang Islam. Bahkan, Muslim Rohingya yang sedang berusaha membebaskan diri mereka dari penindasan kaum Budha dan rezim militer Myanmar pun kini disebut teroris. Termasuk perjuangan Muslim Palestina dalam mengusir penjajah. Rezim zionis Israel dan sekutu Baratnya justru memutarbalikkan istilah terorisme dan menyebut perjuangan rakyat Palestina tersebut sebagai bentuk nyata terorisme.
Selama ini AS dan sekutunya kerap mengklaim dirinya sebagai pembela hak asasi manusia. Padahal sesungguhnya, isu terorisme yang secara gencar dipropagandakan Barat sebagai ancaman bagi keamanan global, merupakan kebohongan besar terhadap bangsa-bangsa di dunia. Bila ditelusuri lebih jauh, sebenarnya AS dan sekutunya-lah yang justru merupakan pelopor model baru terorisme sebagaimana yang dipraktekkan rezim zionis.
Amerika bahkan sudah biasa mencap organisasi yang mengusung ide-ide yang bertentangan dengan HAM dan demokrasi sebagai organisasi teroris. Lihat saja, setiap tahun Amerika merilis daftar organisasi teroris di seluruh dunia. Sebagian besarnya adalah organisasi Islam. Malah HAMAS pun pernah masuk dalam daftar teroris sebelum kelompok tersebut mengikuti pemilu Palestina.
Semua ini menunjukkan semakin nyata kebencian dan tipu daya musuh (As dan sekutunya) terhadap Islam dan kaum Muslimin. Dan semakin nyata pula bahwa perang melawan terorisme sejatinya adalah perang yang dilancarkan oleh negara zionis-salibis internasional untuk memerangi umat Islam dan ‘mengebiri' kaum Muslimin agar jauh dari ajaran Al-Qur'an dan As-Sunnah. Lebih dari itu mereka bertujuan menjajah negeri-negeri kaum muslimin, merampas kekayaan alamnya, dan memaksakan ideologi demokrasi sekuler dengan ekonomi kapitalisnya.
Begitulah, Barat menjadikan isu pemberantasan terorisme ini sebagai dalih untuk melegitimasi aksi-aksi arogannya. Salah satu bentuk nyata dari standar ganda AS dan sejumlah negara Eropa adalah penggunaan istilah terorisme.
Untungnya dalam beberapa tahun terakhir, kesadaran publik semakin meningkat dan jatidiri terorisme negara rezim zionis makin terkuak. Meningkatnya arus informasi membuat mesin-mesin propaganda Barat tak mampu membendung penyebaran berita-berita yang menyibak kejahatan Israel. Semoga kesadaran ini semakin meningkat terus hingga menguatkan barisan dan kesatuan kaum Muslimin di seluruh dunia dalam rangka melawan kesewenang-wenangan musuh dan keangkara-murka-annya.
Tag :
Konspirasi Musuh Islam
0 Komentar untuk "Isu Terorisme adalah Alat Politik bagi AS dan Negara Bonekanya"