Upaya AS Meredam Bangkitnya Islam di Indonesia

Segala bentuk permusuhan terhadap  kaum muslimin serta perlakuan diskriminatif terhadap Islam di seluruh dunia, tidak lepas dari pemahaman bahwa Islam akan kembali menguasai dunia. Dalam pandangan AS, Islam adalah ancaman masa depan jika pertumbuhan gerakan Islam juga terjadi di mana-mana, pada akhirnya bukan saja membahayakan kepentingan AS, tetapi status quo dan hegemoninya menjadi terancam.

Maka, menghadapi  'sumber ancaman' ini, AS berkepentingan untuk menghancurkan dan memberangus Islam sejak dini sebelum menjadi kekuatan besar. Dan untuk memberikan efek global. Sehingga perang melawan teroris ini, tidak lain adalah perang melawan (gerakan) Islam. Itulah yang kini sedang terjadi.

Polanya, bermula dari diciptakannya isu terorisme. Sebab AS  sangat sadar bahwa isu terorisme telah menjadi alat yang sangat ampuh untuk melegalkan semua tindakan mereka, khususnya terhadap Dunia Islam. Disamping isu ini sangat efektif untuk memberikan stigma negatif terhadap Islam. Sebagai bagian dari perang global yang dilancarkan oleh AS dan sekutunya. 

Belakangan mulai terkuak dan akhirnya rakyat semakin sadar bahwa sejatinya, semua stigma terorisme kepada Islam selama ini mencerminkan  bentuk tipu daya musuh yang licik. Demikian juga membunuh umat Islam secara membabi buta dan tidak manusiawi dengan mengatasnamakan  pemberantasan terorisme adalah bentuk makar yang keji. Termasuk mengidentikkan aktivitas jihad sebagai tindakan terorisme juga  merupakan bentuk kebencian musuh yang tidak menginginkan Islam bangkit.

Semua itu ditempuh  dalam rangka melemahkan kekuatan Islam dan kaum Muslimin. Bungkusnya atas nama "perang melawan teror" dengan segala atributnya. Dan di negeri kita, proyek ini dijalankan secara simultan; mulai dari Building Moderat Moslem Network (BMMN), Deradikalisasi, Disengagement, Terorisasi, dan segala bentuk permusuhan lainnya.

Motor penggeraknya adalah Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang dikepalai Irjen Pol (Purn) Ansyaad Mbai. BNPT dibentuk melalui Keppres nomor 46 tahun 2010 dan ditandatangani Presiden 16 Juli 2010. Lembaga baru ini memiliki peran pokok mengatur empat kegiatan penanggulangan terorisme mulai dari pencegahan, perlindungan, eksekusi dan deradikalisasi.

Sebelum menjadi badan, lembaga ini berbentuk desk anti terorisme di Kemenpolhukam. Ide pembentukannya lahir dalam National Summit 2009, di Ritz Carlton, Jakarta, Oktober 2009.  Langkah Pemerintah melalui Kementerian Polhukam, Polri dan instansi terkait menunjukkan keseriusan Pemerintahan SBY pada proyek kontra-terorisme. Jauh hari, komitmen tersebut dibicarakan dengan Presiden AS Barack Obama ketika bertemu di Singapura dan di sela-sela Konferensi Forum G7. Realisasinya kemudian dibuktikan dalam Nasional Summit pada akhir tahun 2009; blue print (road map) kontra-terorisme dirumuskan oleh Pemerintah di bawah kendali Kementerian Polhukam.


Lahirnya BNPT menjadi indikasi jelas, bahwa proyek kontra-terorisme adalah proyek jangka panjang dengan target-target tertentu. Dikerjakan secara kontinu, simultan serta melibatkan banyak energi dan unsur. Padahal semua itu merupakan bentuk membuminya perang global melawan Islam dan kaum Muslimin atas nama global war on terorism. Itulah bentuk GWOT -nya Amerika di Indonesia.

Kenyataan itu tidak bisa dipungkiri karena Indonesia dengan rezimnya saat ini secara kokoh dengan Perjanjian Kemitraan Komprehensif yang ditandatangani SBY-Obama telah memposisikan diri sebagai subordinat kepentingan proyek GWOT yang digelorakan oleh AS dan sekutunya. Target-target proyek di level lokal adalah turunan (break down) dari target-target proyek global.

Lihat saja strategi yang diemban oleh BNPT yakni: Pertama, Penindakan kepada sebagian individu yang disangka pelaku tindak terorisme.

Kedua, penguatan legal frame, melalui lahirnya UU yang bisa memberikan legitimasi tindakan keras oleh Pemerintah melalui Polri atau pihak terkait terhadap kelompok teroris atau kelompok yang dicap radikal dan yang mengusung ideologi Islam. Makanya, tak mengherankan, Pemerintah melalui Kemenpolhukam dan Kemenhan telah mengajukan rencana revisi UU Terorisme (UU no 15 tahun 2003) dan revisi RUU Intelijen. Selain itu, Pemerintah menyiapkan amandemen UU Keormasan dan tiga RUU Keamanan Negara. Semua menjadi prioritas program legislasi nasional di DPR.

Ketiga: mengkooptasi media massa agar menjadi instrumen propaganda yang efektif untuk mengambarkan bahaya kelompok yang mengusung Islam sebagai ideologi dan implikasi sosial politik yang akan ditimbulkan. Upaya pencitraan negatif dilakukan secara kontinu dan simultan melalui media massa yang dikendalikan penguasa. Ini bisa terlihat dari bagaimana peran media baik cetak maupun elektronik, juga media online, dalam isu terorisme di Indonesia.
Keempat, upaya pengarustamaan Islam moderat dengan berbagai strategi: memunculkan tokoh-tokoh moderat dengan harapan menjadi rujukan umat; menerbitkan buku yang kontra syariah dan membangun dialog antariman; perubahan kurikulum di pesantren dan madrasah; serta kerjasama kebudayaan antar berbagai lembaga dan ormas.

Selain itu, ada indikasi menjadikan instrumen government dan NGO melalui individu-individu di dalamnya sebagai corong aktif yang menyuarakan bahayanya Islam ideologi. Ini terlihat pada proyek-proyek pemikiran dan dakwah yang dikembangkan melaluiKementerian Agama dan para pengasong Liberalisme dari berbagai jaringan kelompok liberal, pengusung HAM dan demokrasi. 

Yang tidak ketinggalan adalah adanya rekayasa menjadikan ormas-ormas tertentu sebagai “stempel” dengan mengusung isu atau ide yang bisa dihadapkan secara diametrikal terhadap kelompok-kelompok yang mengusung Islam ideologi. Ini terlihat dari pernyataan orang-orang tertentu yang dianggap representasi dari ormas tertentu yang menyatakan NKRI final dan akan membela sampai titik darah penghabisan jika ada upaya orang atau kelompok yang hendak meruntuhkan. Tentu bisa dipahami, jika langkah soft power ini berhasil maka akan melahirkan sikon kondusif Pemerintah bersikap otoriter dan represif atas nama UU dan klaim aspirasi rakyat Indonesia.

Itulah langkah-langah sistematis dari dunia Barat (AS dan sekutunya) yang dimainkan pemerintah Indonesia melalui BNPT-nya dan unsur terkait. Itu semua menunjukkan motif hakiki AS, yaitu meneguhkan imperialisme dan mengubur seluruh potensi yang bisa mengeliminasi hegemoninya. Sehingga siapapun dari kaum Muslimin di negeri kita yang kiprah dan gerakannya mengancam imperialisme dan hegemoni AS di indonesia, akan dicap sebagai Islam Radikal, Fundamentalis, Teroris, Islam Garis Keras atau yang sejenisnya. Tujuannya agar umat menjauhinya, dan tidak memberikan dukungan kepada perjuangan gerakan tersebut.

Anehnya makar dan rekayasa AS dan sekutunya yang merusakkan citra Islam tersebut, "diamini" begitu saja oleh pemerintah Indonesia. Padahal tindakan tersebut membahayakan eksistensi Islam dan kaum Muslimin di indonesia.

Pemerintah Indonesia menutup mata, bahwa proyek kontra-terorisme motifnya adalah kepentingan politik global AS atas Dunia Islam guna melanggengkan sekularisme, dan mereduksi perjuangan syariat Islam.
 

Melalui penjaminan hegemoni dan kepentingan asing (Amerika dan sekutunya), Indonesia menjadi basis moderatisasi Dunia Islam dan negara satelit bagi Barat (AS) yang bisa mematikan ruhul jihad umat Islam. Inilah motif hakiki dari GWOT baik oleh AS di Dunia Islam atau yang berlangsung di Indonesia melalui penguasa komprador.



 
0 Komentar untuk "Upaya AS Meredam Bangkitnya Islam di Indonesia"

Postingan Populer

Back To Top