Indonesia merupakan korban penjajahan Kapitalisme. Sekalipun sejak 67 tahun silam Indonesia sudah merdeka, namun kenyataannya sampai saat ini kita masih dalam cengkraman asing (Barat). Mereka senantiasa merancang dan memperbaharui bentuk penjajahan. Jika pada awal Orba penjajahan tersebut diwujudkan dalam “topeng” pembangunan, maka kini penjajahan dibungkus dalam kerangka globalisasi dan liberalisasi; pasar bebas, investasi, privatisasi, termasuk demokratisasi dalam ranah politik, liberalisasi agama dan sosial budaya masyarakat.
Lihat saja, liberalisasi dan privatisasi sektor-sektor ekonomi strategis telah semakin mengukuhkan ketimpangan struktur ekonomi Indonesia. Bukan saja karena segelintir elit pemilik korporasi yang kini menguasai mayoritas aset dan hasil produksi nasional, tetapi juga karena mereka sebagian besar berasal dari luar negeri.
Peneliti dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM, Awan Santosa, S.E., M.Sc., mengatakan corak keterjajahan ekonomi Indonesia ini setidaknya tampak dalam beberapa indikasi, seperti kondisi Indonesia yang masih menjadi pemasok bahan mentah, misalnya migas, batubara, emas, CPO, kakao, susu, dan berbagai produk mentah lain bagi pihak luar negeri. “Bahan mentah ini sebagian besar telah dikuasai perusahaan swasta luar negeri, seperti pada 85% kontrak minyak dan gas bumi,” tutur Awan dalam Seminar Bulanan Pustek dengan tema 'Nasionalisme dan Kemandirian Ekonomi', Kamis (19/5).
Bahkan Prof. Mubyarto dalam bukunya, Ekonomi Terjajah, menjelaskan bahwa setelah 60 tahun merdeka, kondisi perekonomian rakyat Indonesia tidak banyak berubah; bahkan jika dibandingkan dengan masa penjajahan Belanda. Secara relatif, PDB perkapita Indonesia cenderung terus merosot. Mubyarto melihat keterjajahan kembali ekonomi Indonesia mewujud dalam bentuk ‘penghisapan ekonomi’ yang sangat tinggi dan penciptaan ketidakadilan sosial. Karena penghisapan tersebut Indonesia tidak akan mungkin menciptakan keadilan sosial melalui strategi pembangunan.
Fenomena penjajahan ekonomi oleh AS yang diistilahkan oleh Mubyarto sebagai “The Global Empire” tidak hanya menimpa Indonesia saja, melainkan melanda hampir seluruh Dunia Islam. Hal ini semakin terkuak setelah muncul buku yang ditulis oleh John Perkins yang berjudul, Confessions of an Economic Hit Man. Buku tersebut membuka rahasia Pemerintah AS yang berani membayar tinggi orang-orang seperti Perkins. Mereka dibayar untuk membuat negara-negara yang kaya sumberdaya alam (SDA) mengambil utang luar negeri sebanyak-banyaknya sampai negara itu tidak mungkin lagi dapat membayar utangnya, kecuali dengan menguras seluruh SDA yang mereka miliki.
Indonesia adalah salah satu contoh negara yang telah sukses masuk dalam jeratan “Global Empire”-nya AS. Apa yang terjadi di Indonesia sangat sesuai dengan paparan Perkins di atas. Indonesia saat ini telah terjerat dalam perangkap utang yang hampir tidak mungkin untuk dibayar. Utang pada akhir pemerintahan Soekarno 2,17 miliar dollar AS, pada akhir pemerintahan Soeharto naik 25 kali lipat menjadi 54 miliar dollar AS, dan pada akhir 2010 angka itu sudah membengkak lebih dari 50 kali lipat menjadi 116 miliar dollar AS. (http://cetak.kompas.com/read/2011/06/03/04174268/selamatkan.ekonomi.indonesia, diakses 15 Juli 2011).
Hingga Agustus 2011 utang Indonesia membengkak lagi mencapai mencapai 128,6 miliar dollar AS(http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/11/08/05/lpftg3-utang-indonesia-sudah-rp-1900-triliun-pemerintah-diminta-stop-biayai-pembangunan-dari-utang diakses 12 Agustus 2011)
Untuk membayar utang luar negeri yang jumlahnya sangat besar itu, bahkan membayar bunganya saja di tahun 2011 pemerintah menganggarkan Rp. 116,4 triliun (http://finance.detik.com/read/2010/08/16/154850/1421483/4/sby-pemerintah-bayar-bunga-utang-rp-1164-triliun-di-2011 diakses 12 Agustus 2011).
Secara umum penjajahan di Indonesia dalam bidang ekonomi dilakukan oleh kreditor internasional (IMF, Bank Dunia, ADB, dll), perusahaan multinasional, serta negara-negara maju yang bermuara pada kepentingan AS dan sekutunya. Liberalisasi ekonomi merupakan ciri khas sistem Kapitalisme. Hanya saja bentuk dan caranya mengalami perkembangan seiring dengan perubahan sistem Kapitalisme dan tarik-menarik kepentingan negara-negara besar, khususnya Amerika Serikat.
AS menyebarkan ide tentang pembangunan ekonomi dan keadilan sosial untuk menggiring negara-negara yang baru merdeka masuk ke dalam cengkeramannya. Inilah bagian dari ekspansi penjajah (imperialist expansion) dalam wujud neoliberalisme dan globalisasi. AS mendorong pembangunan berbasis utang dan investasi asing di Dunia Ketiga. Dengan cara ini, AS menjebak mereka dalam perangkap utang (debt trap). Dengan itu mereka mudah didikte hingga bertekuk-lutut di hadapan negara penjajah itu.
Itulah sebabnya Presiden AS, Richard Nixon, pernah menyebut Indonesia sebagai “hadiah terbesar (the greatest prize)” di wilayah Asia Tenggara (David Ransom, Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia, 2006). Presiden Lyndon Johnson pun menyatakan kekayaan alam Indonesia yang melimpah menjadi alasan bagi Amerika untuk mendekati dan membantu Indonesia.
Lihat saja, liberalisasi dan privatisasi sektor-sektor ekonomi strategis telah semakin mengukuhkan ketimpangan struktur ekonomi Indonesia. Bukan saja karena segelintir elit pemilik korporasi yang kini menguasai mayoritas aset dan hasil produksi nasional, tetapi juga karena mereka sebagian besar berasal dari luar negeri.
Peneliti dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM, Awan Santosa, S.E., M.Sc., mengatakan corak keterjajahan ekonomi Indonesia ini setidaknya tampak dalam beberapa indikasi, seperti kondisi Indonesia yang masih menjadi pemasok bahan mentah, misalnya migas, batubara, emas, CPO, kakao, susu, dan berbagai produk mentah lain bagi pihak luar negeri. “Bahan mentah ini sebagian besar telah dikuasai perusahaan swasta luar negeri, seperti pada 85% kontrak minyak dan gas bumi,” tutur Awan dalam Seminar Bulanan Pustek dengan tema 'Nasionalisme dan Kemandirian Ekonomi', Kamis (19/5).
Bahkan Prof. Mubyarto dalam bukunya, Ekonomi Terjajah, menjelaskan bahwa setelah 60 tahun merdeka, kondisi perekonomian rakyat Indonesia tidak banyak berubah; bahkan jika dibandingkan dengan masa penjajahan Belanda. Secara relatif, PDB perkapita Indonesia cenderung terus merosot. Mubyarto melihat keterjajahan kembali ekonomi Indonesia mewujud dalam bentuk ‘penghisapan ekonomi’ yang sangat tinggi dan penciptaan ketidakadilan sosial. Karena penghisapan tersebut Indonesia tidak akan mungkin menciptakan keadilan sosial melalui strategi pembangunan.
Fenomena penjajahan ekonomi oleh AS yang diistilahkan oleh Mubyarto sebagai “The Global Empire” tidak hanya menimpa Indonesia saja, melainkan melanda hampir seluruh Dunia Islam. Hal ini semakin terkuak setelah muncul buku yang ditulis oleh John Perkins yang berjudul, Confessions of an Economic Hit Man. Buku tersebut membuka rahasia Pemerintah AS yang berani membayar tinggi orang-orang seperti Perkins. Mereka dibayar untuk membuat negara-negara yang kaya sumberdaya alam (SDA) mengambil utang luar negeri sebanyak-banyaknya sampai negara itu tidak mungkin lagi dapat membayar utangnya, kecuali dengan menguras seluruh SDA yang mereka miliki.
Indonesia adalah salah satu contoh negara yang telah sukses masuk dalam jeratan “Global Empire”-nya AS. Apa yang terjadi di Indonesia sangat sesuai dengan paparan Perkins di atas. Indonesia saat ini telah terjerat dalam perangkap utang yang hampir tidak mungkin untuk dibayar. Utang pada akhir pemerintahan Soekarno 2,17 miliar dollar AS, pada akhir pemerintahan Soeharto naik 25 kali lipat menjadi 54 miliar dollar AS, dan pada akhir 2010 angka itu sudah membengkak lebih dari 50 kali lipat menjadi 116 miliar dollar AS. (http://cetak.kompas.com/read/2011/06/03/04174268/selamatkan.ekonomi.indonesia, diakses 15 Juli 2011).
Hingga Agustus 2011 utang Indonesia membengkak lagi mencapai mencapai 128,6 miliar dollar AS(http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/11/08/05/lpftg3-utang-indonesia-sudah-rp-1900-triliun-pemerintah-diminta-stop-biayai-pembangunan-dari-utang diakses 12 Agustus 2011)
Untuk membayar utang luar negeri yang jumlahnya sangat besar itu, bahkan membayar bunganya saja di tahun 2011 pemerintah menganggarkan Rp. 116,4 triliun (http://finance.detik.com/read/2010/08/16/154850/1421483/4/sby-pemerintah-bayar-bunga-utang-rp-1164-triliun-di-2011 diakses 12 Agustus 2011).
Secara umum penjajahan di Indonesia dalam bidang ekonomi dilakukan oleh kreditor internasional (IMF, Bank Dunia, ADB, dll), perusahaan multinasional, serta negara-negara maju yang bermuara pada kepentingan AS dan sekutunya. Liberalisasi ekonomi merupakan ciri khas sistem Kapitalisme. Hanya saja bentuk dan caranya mengalami perkembangan seiring dengan perubahan sistem Kapitalisme dan tarik-menarik kepentingan negara-negara besar, khususnya Amerika Serikat.
AS menyebarkan ide tentang pembangunan ekonomi dan keadilan sosial untuk menggiring negara-negara yang baru merdeka masuk ke dalam cengkeramannya. Inilah bagian dari ekspansi penjajah (imperialist expansion) dalam wujud neoliberalisme dan globalisasi. AS mendorong pembangunan berbasis utang dan investasi asing di Dunia Ketiga. Dengan cara ini, AS menjebak mereka dalam perangkap utang (debt trap). Dengan itu mereka mudah didikte hingga bertekuk-lutut di hadapan negara penjajah itu.
Itulah sebabnya Presiden AS, Richard Nixon, pernah menyebut Indonesia sebagai “hadiah terbesar (the greatest prize)” di wilayah Asia Tenggara (David Ransom, Mafia Berkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia, 2006). Presiden Lyndon Johnson pun menyatakan kekayaan alam Indonesia yang melimpah menjadi alasan bagi Amerika untuk mendekati dan membantu Indonesia.
Tag :
Hot News
0 Komentar untuk "Bisakah Indonesia Lepas dari Cengkeraman Asing?"