Seperti siklus 5 tahun yang lalu, suasana gaduh, bising bahkan panas kembali menghampiri mewarnai iklim politik di Indonesia. Tak berbeda dengan musim pemilu sebelumnya, jutaan janji ditabur bersama puluhan ribu poster wajah-wajah narsis. Mengaku bersih, jujur, amanah dan sederet klaim kebaikan diri lainnya, tanpa pernah memberi bukti kebenaran klaim itu.
Di kalangan aktivis dan tokoh Islam yang lurus dan tulus menegakkan syariat Islam, perdebatan seputar Pemilu 9 April kelak pun tak kalah gaduh. Bukan soal partai yang sok mengaku Islam dengan caleg-caleg yang tampak alim. Umat sudah cerdas mengenali para pemburu dunia yang berkedok pejuang Islam itu. Persoalan lebih mengerucut kepada perlu tidaknya memberikan hak suara pada 9 April nanti.
Mereka paham, haramnya demokrasi sudah final. Sistim demokrasi menjadikan hak sebagai pembuat undang-undang ada pada suara manusia terbanyak, dirampas dari kedaulatan Allah Azza wa Jalla sebagai satu-satunya sumber syariat. Demokrasi adalah seburuk-buruk kezaliman, dan kesyirikan yang paling fatal.
Masalahnya, timbul kekhawatiran di kalangan tokoh dan aktivis Islam kalau mereka absen dari Pemilu, negara ini akan dikuasai oleh kalangan sekuler, abangan, aliran sesat dan mereka yang anti Islam. Dari kekhawatiran itu, muncullah “ijtihad” untuk ikut serta dalam Pemilu dengan tujuan meminimalisir dampak negatif. Beralasan sebagai langkah dharurah, mereka menganjurkan umat memilih caleg dan capres yang benar-benar komitmen membela Islam dan kaum Muslimin.
Di sini, timbul kebingungan baru. Siapa caleg dan capres yang layak dipilih oleh umat? Penampilan anggota partai-partai Islam pada hari ini benar-benar wanprestasi. Tak ada produk hukum atau keputusan pro-syariat yang dapat dihitung secara signifikan. Yang tampak justru akhlak dan tingkah laku politikus Islam tak beda dengan lainnya.
Korupsi, perzinaan, bergaya hidup glamour menghiasi kehidupan mereka. Selebihnya, diam, tenggelam dan turut mengalir bersama-sama kelompok sekuler dan anti Islam dalam merumuskan undang-undang di negeri ini. Lalu apa bedanya partai Islam dan partai sekuler? Apalagi, banyak pula politikus partai sekuler yang berkerudung dan berpeci.
Umat masih dipasrahkan hanya kepada janji demi janji para caleg yang mengaku komitmen terhadap perjuangan Islam. Tak ada ancaman bila sang caleg pro-syariat itu nanti ingkar janji. Yang sangat disayangkan, anjuran agar umat berpartisipasi dalam Pemilu dengan memilih caleg-caleg yang komitmen terhadap Islam tidak dibarengi dengan kriteria dan kaidah-kaidah syar’i.
Tidak ada kaidah syariat yang mengawal majunya caleg-caleg pro-syariat itu ke gelanggang demokrasi ini. Mereka dibiarkan bebas nilai sama sekali. Padahal, mengacu kepada haramnya hukum demokrasi, seharusnya mereka yang berkecimpung untuk meminimalkan mudharat menyadari status keberadaan mereka bersifat dharurah.
Dharurah yang menyebabkan mereka mengambil pilihan rukhsah (memanfaatkan demokrasi) itu statusnya harus jelas. Ancaman bila orang Islam tidak ikut Pemilu harus nyata (mutawaqqi’), bukan berdasarkan dugaan (mauhum) atau masih diragukan (musykuk fih). Ini pertimbangan yang tidak sederhana. Apalagi komposisi ancaman dari caleg anti-Islam berbeda antara satu daerah dengan lainnya.
Status dharurah itu seperti makan daging babi saat tak ada makanan lain. Bukan jalan “sah” memperjuangkan Islam. Sebab, manhaj Nabi SAW dalam iqomatuddin hanya mengajarkan: dakwah, amar-makruf nahi-munkar dan jihad fi sabilillah.
Karena dharurah, daging haram itu hanya boleh dimakan sekadar mencegah kematian. Kalau sudah makan beberapa suap, jangan lalu bikin sate dan babi guling. Di sini, sanggupkah para caleg pro-syariat itu bersumpah tidak akan makan gaji, insentif, hadiah atau apapun yang diperoleh demokrasi? Bisakah para caleg itu tidak tergoda oleh gaya hidup politikus Islam sebelumnya yang bergelimang Rolex, mobil mewah dan kenikmatan duniawi hasil demokrasi lainnya?
Ijithad untuk ikut serta dalam Pemilu demi meminimalkan mudharat bagi Islam akan lebih efektif bila para caleg yang mengaku siap bertarung memperjuangkan Islam itu membuat sumpah di depan umat. Sumpah untuk siap miskin karena tak mengambil gaji dan insentif apapun, dan untuk itu ia siap diaudit secara islami. Juga sumpah untuk siap dicemooh bahkan mati digantung karena membela Islam dan kaum Muslimin.
Tanpa itu semua, jangan salahkan bila kemudian umat tetap bergeming pada manhaj Nabi SAW yakni dakwah, amar makruf nahi munkar, dan jihad fi sabilillah. Sebab bagaimanapun, seorang dai yang ikhlas berdakwah di pulau terpencil mengajari seorang Muslim agar bisa shalat dan baca Al-Qur’an dengan baik dan benar, jauh lebih bernilai dibanding tokoh politik yang kehilangan komitmen membela Islam dan kaum Muslimin di parlemen sekuler.
sumber : kiblat.net
Di kalangan aktivis dan tokoh Islam yang lurus dan tulus menegakkan syariat Islam, perdebatan seputar Pemilu 9 April kelak pun tak kalah gaduh. Bukan soal partai yang sok mengaku Islam dengan caleg-caleg yang tampak alim. Umat sudah cerdas mengenali para pemburu dunia yang berkedok pejuang Islam itu. Persoalan lebih mengerucut kepada perlu tidaknya memberikan hak suara pada 9 April nanti.
Mereka paham, haramnya demokrasi sudah final. Sistim demokrasi menjadikan hak sebagai pembuat undang-undang ada pada suara manusia terbanyak, dirampas dari kedaulatan Allah Azza wa Jalla sebagai satu-satunya sumber syariat. Demokrasi adalah seburuk-buruk kezaliman, dan kesyirikan yang paling fatal.
Masalahnya, timbul kekhawatiran di kalangan tokoh dan aktivis Islam kalau mereka absen dari Pemilu, negara ini akan dikuasai oleh kalangan sekuler, abangan, aliran sesat dan mereka yang anti Islam. Dari kekhawatiran itu, muncullah “ijtihad” untuk ikut serta dalam Pemilu dengan tujuan meminimalisir dampak negatif. Beralasan sebagai langkah dharurah, mereka menganjurkan umat memilih caleg dan capres yang benar-benar komitmen membela Islam dan kaum Muslimin.
Di sini, timbul kebingungan baru. Siapa caleg dan capres yang layak dipilih oleh umat? Penampilan anggota partai-partai Islam pada hari ini benar-benar wanprestasi. Tak ada produk hukum atau keputusan pro-syariat yang dapat dihitung secara signifikan. Yang tampak justru akhlak dan tingkah laku politikus Islam tak beda dengan lainnya.
Korupsi, perzinaan, bergaya hidup glamour menghiasi kehidupan mereka. Selebihnya, diam, tenggelam dan turut mengalir bersama-sama kelompok sekuler dan anti Islam dalam merumuskan undang-undang di negeri ini. Lalu apa bedanya partai Islam dan partai sekuler? Apalagi, banyak pula politikus partai sekuler yang berkerudung dan berpeci.
Umat masih dipasrahkan hanya kepada janji demi janji para caleg yang mengaku komitmen terhadap perjuangan Islam. Tak ada ancaman bila sang caleg pro-syariat itu nanti ingkar janji. Yang sangat disayangkan, anjuran agar umat berpartisipasi dalam Pemilu dengan memilih caleg-caleg yang komitmen terhadap Islam tidak dibarengi dengan kriteria dan kaidah-kaidah syar’i.
Tidak ada kaidah syariat yang mengawal majunya caleg-caleg pro-syariat itu ke gelanggang demokrasi ini. Mereka dibiarkan bebas nilai sama sekali. Padahal, mengacu kepada haramnya hukum demokrasi, seharusnya mereka yang berkecimpung untuk meminimalkan mudharat menyadari status keberadaan mereka bersifat dharurah.
Dharurah yang menyebabkan mereka mengambil pilihan rukhsah (memanfaatkan demokrasi) itu statusnya harus jelas. Ancaman bila orang Islam tidak ikut Pemilu harus nyata (mutawaqqi’), bukan berdasarkan dugaan (mauhum) atau masih diragukan (musykuk fih). Ini pertimbangan yang tidak sederhana. Apalagi komposisi ancaman dari caleg anti-Islam berbeda antara satu daerah dengan lainnya.
Status dharurah itu seperti makan daging babi saat tak ada makanan lain. Bukan jalan “sah” memperjuangkan Islam. Sebab, manhaj Nabi SAW dalam iqomatuddin hanya mengajarkan: dakwah, amar-makruf nahi-munkar dan jihad fi sabilillah.
Karena dharurah, daging haram itu hanya boleh dimakan sekadar mencegah kematian. Kalau sudah makan beberapa suap, jangan lalu bikin sate dan babi guling. Di sini, sanggupkah para caleg pro-syariat itu bersumpah tidak akan makan gaji, insentif, hadiah atau apapun yang diperoleh demokrasi? Bisakah para caleg itu tidak tergoda oleh gaya hidup politikus Islam sebelumnya yang bergelimang Rolex, mobil mewah dan kenikmatan duniawi hasil demokrasi lainnya?
Ijithad untuk ikut serta dalam Pemilu demi meminimalkan mudharat bagi Islam akan lebih efektif bila para caleg yang mengaku siap bertarung memperjuangkan Islam itu membuat sumpah di depan umat. Sumpah untuk siap miskin karena tak mengambil gaji dan insentif apapun, dan untuk itu ia siap diaudit secara islami. Juga sumpah untuk siap dicemooh bahkan mati digantung karena membela Islam dan kaum Muslimin.
Tanpa itu semua, jangan salahkan bila kemudian umat tetap bergeming pada manhaj Nabi SAW yakni dakwah, amar makruf nahi munkar, dan jihad fi sabilillah. Sebab bagaimanapun, seorang dai yang ikhlas berdakwah di pulau terpencil mengajari seorang Muslim agar bisa shalat dan baca Al-Qur’an dengan baik dan benar, jauh lebih bernilai dibanding tokoh politik yang kehilangan komitmen membela Islam dan kaum Muslimin di parlemen sekuler.
sumber : kiblat.net
Tag :
Hot News
0 Komentar untuk "Pemilu 2014: Kepada Siapa Umat ini Kita Titipkan?"