Fenomena “Tobat” dari Jalan Jihad

Berbalik dari keyakinan atau dikenal dengan istilah tarooju’, ternyata telah ada sejak masa Rasulullah saw. Ketika beliau masih hidup dan Al-Qur’an masih turun, fenomena tarooju’ sudah ada. Rajal bin Unfuwah, misalnya.  Ia tak hanya keluar dari Islam, tetapi menguatkan kenabian palsu Musailamah al-kadzdzaab.


Para shahabat menganggap fitnah Rajal lebih besar daripada Musailamah, sebab nabi palsu tersebut tidak pernah bertemu dengan Rasulullah dan sebelumnya dikenal sebagai tukang sihir. Kesesatannya lebih nyata sejak awal. Berbeda dengan Rajal, dia pernah bertemu dan menggali ilmu kepada Nabi, sehingga ketika dia menguatkan Musailamah fitnahnya lebih besar.

Tarooju’ secara bahasa maknanya mengaku salah, mundur dari kancah, mencabut pernyataan, menyesal dan menyatakan kembali. Dalam kancah jihad, tarooju’ merupakan perkara yang sering terjadi, baik pada tingkat individu maupun kolektif.
Mereka yang menyatakan tarooju berarti mengakui bahwa prinsip yang dipeganginya dalam berkonfrontasi dengan para thoghut itu salah. Mereka kemudian mundur dan meninggalkan medan yang sebelumnya mereka jaga dan bela. Mereka menyesal dan mencabut permusuhan. Mereka kembali kepada posisi sebagai ‘muslim’ yang moderat, insklusif dan tidak lagi memerangi kekafiran.
Persepsi Barat dan Program Penjinakan Aktivis Islam
Angel Rabasa dkk. dari RAND Corporation dalam bukunya Deradicalizing Islamist Extremists mengklasifikasi model tarooju’ bagi para aktivis Islam yang mereka inginkan. Dan hal itu direkomendasikan untuk diluncurkan dalam bentuk program. Ada dua klasifikasi besar, yakni deradicalization dan disengagement.
Pertama adalah keadaan dimana unsur gerakan Islam jihadis yang semula aktif berjihad memerangi AS dan sekutu baratnya, berbalik meletakkan senjata. Mereka menganggap bahwa memerangi barat adalah tindakan yang salah. Yang benar adalah bersahabat dengan barat dan menerima dominasinya atas dunia Islam. Penempatan 1.500.000 personel tentara AS dari ujung barat Afrika hingga ujung timur Mindanao, dianggap sebagai kenyataan yang harus diterima apa adanya.
Kedua adalah keadaan dimana unsur jihadis yang semula aktif memerangi AS dan sekutu baratnya, mau menerima kenyataan dominasi barat. Ia meletakkan senjatanya, hidup ‘normal’, tidak mau melakukan perlawanan bersenjata. Perbedaannya dengan yang pertama, ia masih meyakini bahwa jalan untuk membela dan memenangkan Islam adalah dengan jihad fie sabiilillah.
Dari dua klasifikasi besar tersebut, ada kondisi pelaku yang dapat ‘dinaikkan’ statusnya dari berhenti, menarik diri dan menyesal, meningkat menjadi  sekutu kolaborasi. Wujudnya ialah membantu musuh Islam ‘menyadarkan’ teman-temannya yang masih aktif mendukung gerakan Islam. Tentu tidak gratis. Semua itu dengan berbagai iming-iming fasilitas, mulai dari jaminan keamanan dari mereka (bukan jaminan dari siksa Allah), kesejahteraan hidup, biaya operasional hingga modal usaha.
Musuh juga tahu bahwa sebagian jihadis mau menerima bantuan tetapi tidak mau diajak bekerjasama. Mereka menerapkan prinsip gradasi perlakuan terhadap musuh dengan baik.

Program deradikalisasi yang direkomendasikan para pemikir lembaga penelitian Dephan AS itu, yang kemudian diadopsi oleh pemerintah negara-negara yang tergabung dalam koalisi memerangi teroris (baca Islam) termasuk BNPT, adalah bagian dari uslub peperangan. Para mujahid tidak boleh rabun dan teledor, apalagi tergiur dengan kucuran proyek ekonomi yang terus ditebar.
Bukankah Allah telah berfirman :
“Dan janganlah kamu jual perjanjian (dengan) Allah dengan harga murah, karena sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apa yang ada di sisimu akan lenyap, dan apa yang ada di sisi Allah adalah kekal. Dan Kami pasti akan memberi balasan kepada orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl 95-96).
Tabiat Jalan Islam
Jalan penegakan agama Allah dengan jihad bukan hamparan permadani yang terbentang, sebaliknya justru tebaran onak dan duri, serakan tulang-belulang dan tengkorak, ceceran darah dan luka, menanjak menuju puncak ketinggian amal. Barang siapa yang memiliki persepsi penegakan agama adalah hamparan karpet merah dan percikan parfum serta nyamannya istirahat, maka pemahaman itu akan mengecohnya untuk menjual dien dan saudara-saudara seagama atas nama agama.
“Hai orang-orang yang beriman, maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari adzab yang pedih? Yaitu kamu beriman kepada Allah dan rasul-Nya, dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui.” (Ash-Shaff 10-11).
Nabi juga telah menggambarkan, “Pokok pangkal urusan adalah Islam, tiang-tiang tegaknya adalah sholat dan puncak ketinggiannya adalah Jihad fie sabilillah.”
Tabiat jalan itu juga digambarkan dengan jelas saat Rasulullah menanggapi keluhan sahabat Khabbab bin Al-Art diawal masa kenabian. Ketika itu Khabbab mengadukan penyiksaan yang dialaminya. Nabi saw menjawab, “Pada zaman sebelum kamu ada seorang laki-laki yang ditanam ke dalam tanah, lalu dibawakan gergaji dan diletakkan di kepalanya. Maka digergajilah  tubuhnya menjadi dua. Namun hal itu tidak menghalanginya dari tetap teguh kepada dien-nya. Ada juga yang dipasang sisir besi, sehingga tidak ada yang tersisa daging melekat di tulangnya. Namun hal itu tidak menghalanginya untuk tetap teguh menggenggam dien-nya…”(Al-Bukhari).
Memahami tabiat jalan, akan memudahkan seorang hamba untuk mempersiapkan bekal menempuh jalan itu. Apalagi jika hamba tersebut tak berhenti belajar dan memperdalam detail tabiat jalan itu, peluang untuk selamat menempuhnya lebih besar. Juga, ketika suatu saat karena keteledoran dan kelalaiannya menyimpang dari jalan, hamba tadi lebih mudah untuk kembali. Begitulah karakter kaum Robbaniyyun, Allah menyematkan sifat khusus, bi maa kuntum tu’allimuun al-kitaab wa bi maa kuntum tadrusuun, “tersebab kalian selalu mengajarkan Al-Qur-aan dan senantiasa mempelajarinya”


sumber : kiblat.net
0 Komentar untuk "Fenomena “Tobat” dari Jalan Jihad"

Postingan Populer

Back To Top