Situs www.antarajateng.com, pada 27 Mei 2013, menurunkan berita berjudul “Pancadriya Kuwalik’ Van Lith setelah 150 Tahun”. Berita itu berkisah tentang peringatan 150 tahun Van Lith yang dihadiri oleh Uskup Agung Semarang dan dilakukan oleh 329 seniman petani Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh) Kabupaten Magelang. Acara dilakukan di tiga panggung terbuka di halaman Museum Misi Muntilan.
“Empat penari lainnya, masing-masing Siti Nurkhasanah, Siti Rifaatul Mahmudah, Mudrikah Zaini, dan Ita Purnamasari, memainkan performa tari mengelilingi kolam penuh enceng gondok dan di tengahnya tegak berdiri patung Romo Van Lith,” demikian antara lain berita yang ditampilkan.
Selanjutnya ditulis dalam berita tersebut: “Kiprah Romo Fransiskus Gregorius Yosephus Van Lith yang lahir di Belanda pada 17 Mei 1863, dikatakan oleh Koordinator Umum Panitia Peringatan 150 Tahun Van Lith Romo G. Budi Subanar, dikaitkan dengan pendidikan untuk pribumi dengan model asrama dan pembangunan gereja Katolik yang membumi di Indonesia, khususnya Jawa. Van Lith yang seorang pastor ordo Serikat Yesus itu, datang ke Jawa pada 1896, belajar budaya dan adat istiadat Jawa, menjalankan misi Katolik di Hindia Belanda hingga meninggal dunia di Semarang pada 9 Januari 1926, serta kemudian dimakamkan di Kerkof Muntilan, dekat kompleks SMA Van Lith yang dirintisnya sejak 1904.”
Demikian petikan berita dari situs www.antarajateng.com tentang peringatan 150 tahun tokoh misi Katolik Frans Van Lith. Bagi kaum Katolik, sosok Van Lith dipandang sebagai tokoh monumental dalam penyebaran misi Katolik di Tanah Jawa. Ia memulai misi dengan mendirikan pendidikan guru di Muntilan, Jawa Tengah. Sekolah Van Lith itu kini masih berlanjut dalam bentuk SMA Pangudi Luhur Van Lith.
Dalam situsnya, (http://vanlith-mtl.sch.id/profil/visi-misi-tujuan-sma-vanlith.3.html), disebutkan tentang “visi, misi, dan tujuan SMA Van Lith, yaitu:
“Visi SMA Pangudi Luhur Van Lith adalah semangat Kerajaan Allah yang berintikan keselamatan bagi semua orang “terutama yang menderita dan terlupakan”, yang diharapkan menjadi kenyataan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.”
*****
Jika kaum Katolik mengagung-agungkan sosok Frans van Lith, maka tidak demikian halnya bagi kaum Muslim di Indonesia. Kehadiran van Lith dianggap sebagai musibah dalam bidang aqidah Islam, karena Van Lith berhasil melakukan kristenisasi dengan cara-cara budaya dan pendidikan. Banyak korban dari kalangan Muslim yang berhasil dimurtadkan oleh gerakan Van Lith. Arif Wibowo, direktur Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo pernah menulis artikel berjudul “Profil Soegija, Cucu Kyai Korban Kristenisasi”. Soegijapranata adalah uskup pribumi pertama di Indonesia, seorang cucu kyai di Yogya, yang akhirnya jadi korban pemurtadan oleh Van Lith.
Berikut ini petikan artikel yang ditulis oleh Arif Wibowo, yang juga alumnus Program Magister Pemikiran Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta:
“Pembukaan sekolah-sekolah rakyat oleh pemerintah kolonial Belanda dalam rangka politik asosioasi dan memperoleh tenaga administrasi murah dari kalangan pribumi, dengan dalih pencerdasan, menyebabkan tingginya permintaan tenaga pengajar pada saat itu. Peluang ini ditangkap Fransiscus Georgius Josephus van Lith, seorang Jesuit senior yang berkarya di Jawa Tengah. Dalam pandangan Van Lith, posisi strategis guru adalah masa depan bagi perkembangan umat Katolik di Jawa. Usaha misi diantara bangsa Jawa mulai dengan metode yang salah: mewartakan Injil kepada individu. Kita harus insaf bahwa karya kita bergantung pada pendidikan pemimpin dan guru.(G. Budi Subanar, SJ, Soegija Si Anak Betlehem van Java, Biografi Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ, (Yogyakarta : Kanisius, 2003), hal. 50).
Van Lith kemudian mendirikan Kolese Xaverius, yang merupakan sekolah untuk para calon guru. Kesempatan untuk menjadi guru yang dalam pandangan orang Jawa masuk ke dalam kasta priyayi, merupakan magnet tersendiri bagi kolese Xaverius. Salah seorang alumni Muntilan angkatan 1915, Michael Slamet memaparkan :
“Untuk itu, Muntilan telah menjadi ”medan magnet” yang mampu menarik banyak orang dari berbagai daerah di Jawa, bahkan juga di luar Jawa untuk belajar di sana. Bagi siswa dan alumni Muntilan, Kolese Xaverius dapat dianggap sebagai ”dewa penolong” bagi suatu mobilitas sosial yang dicita-citakan. Dalam pemahaman demikian, mereka akan dengan mudah menyinergikan diri pada kegiatan para misionaris untuk tujuan-tujuan yang lebih mulia. ”Harta” didapat, ”sorga” diperoleh. ( Anton Haryono, 2009, Awal Mulanya adalah Muntilan, Misi Yesuit di Yogyakarta 1814 – 1940, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, hal. 84).
Godaan untuk menjadi priyayi inilah yang akhirnya mengantarkan Sogijapranata kecil untuk memutuskan memilih Kolese Xaverius menjadi tempat bagi pendidikan dan pengembangan dirinya. (G. Budi Subanar, SJ, 2003, Idem, hal. 24-25). Soegija akhirnya memeluk Katolik. Kareel Steenbrink menyebutkan, bahwa anak-anak lelaki yang masuk sekolah ini semuanya muslim dan semuanya tamat sebagai orang Katolik.(Kareel Steenbrink, Orang-Orang Katolik di Indonesia, Sebuah Pemulihan Bersahaja 1808 – 1903, (Maumere : Penerbit Ledalero, 2006) hlm 384.).
*****
Begitulah catatan Arif Wibowo tentang sepenggal kiprah Van Lith dalam pengkristenan orang Jawa. Sebuah situs (http://tidarheritage.org), memuat perjalanan misi Van Lith yang disebutnya ‘Misi Jawa’ Romo Van Lith. Sebab, Van Lith menjalankan misinya untuk ‘menaklukkan hati orang Jawa’ dengan menggunakan jalan kebudayaan. “Ini mengingatkan pada pendekatan para wali (songo) ketika mereka menjalankan misi penyebaran agama Islam. Mungkin Van Lith juga belajar dari para wali itu, bahwa orang Jawa tidak mudah menerima suatu ajaran atau budaya baru dengan begitu saja, apalagi dengan cara-cara pemaksaan.”
Kebudayaan Jawa lebih mudah ‘menyerap’ budaya baru itu, menjadi ‘Jawa baru’ atau hibriditasi. Seperti halnya ‘Islam Jawa’, dalam praktek-praktek ritualnya agama Katholik di Jawa juga akrab dengan idiom budaya Jawa seperti penggunaan bahasa, gamelan atau tembang-tembang Jawa, serta yang paling kontemporer adalah wayang ukur (wayang kulit dengan cerita Yesus).
Contoh kisah yang dipandang sebagai bentuk sukses misi Van Lith dalam mengkatolikkan orang Jawa terjadi tahun 1904, ketika Van Lith mempermandikan sekitar 173 orang dari Desa Kalibawang, Kulon Progo. Mereka serentak dibaptis di sebuah sendang, yang kemudian dikenal sebagai cikal bakal Sendang Sono. “Pertobatan dalam jumlah yang tidak kecil itu mempunyai arti penting bagi saya dan juga bagi misi Jawa … Saya sudah memberi pelajaran di banyak desa … tanpa ada hasilnya. Justru daerah yang belum pernah kudatangi menyatakan kesediaannya untuk menjadi Katolik. Apakah itu bukan tangan Tuhan yang bekerja?” tulis van Lith, seperti dikutip oleh situs tersebut.
Jadi, itulah misi utama Frans Van Lith: Menjalankan misi Katolik di Tanah Jawa. Jika ditelaah, kedatangan van Lith ke Indonesia sebenarnya bertepatan dengan era kebijakan pemerintah kolonial yang semakin kuat dalam menyokong misi Kristen di Indonesia. Pada 1888, Menteri Urusan Kolonial, Keuchenis, menyatakan dukungannya terhadap semua organisasi misionaris dan menyerukan agar mereka menggalang kerjasama dengan pemerintah Belanda untuk memperluas pengaruh Kristen dan membatasi pengaruh Islam. J.T. Cremer, Menteri untuk Urusan Kolonial lain, dengan semangat yang sama, juga menganjurkan agar kegiatan-kegiatan misionaris dibantu, karena hal itu — dalam pandangannya — akan melahirkan “peradaban, kesejahteraan, keamanan, dan keteraturan. (Lihat, Alwi Shihab, Membendung Arus, 1998, hal. 147.
Dalam sebuah pidato resminya, Ratu Belanda antara lain menegaskan, “Sebagai sebuah bangsa Kristen, Belanda punya kewajiban meningkatkan kondisi orang-orang Kristen pribumi di kepulauan Nusantara, untuk memberi bantuan lebih banyak lagi kepada kegiatan-kegiatan misi, dan untuk memberitahukan kepada seluruh jajaran pemerintah bahwa bangsa Belanda punya kewajiban moral terhadap penduduk di daerah-daerah itu.”
Pada 1901, Abraham Kuyper, pemimpin Partai Kristen, ditunjuk sebagai Perdana Menteri, menyusul kekalahan Partai Liberal oleh koalisi partai-partai kanan dan agama. Alexander Idenburg, yang di masa mudanya pernah bercita-cita sebagai misionaris, mengambil alih kantor pemerintah kolonial. Kebijakan selama 50 tahun yang kurang lebih bersifat “netral agama” diubah menjadi kebijakan yang secara terang-terangan mendukung misi Kristen. Berbagai subsidi terhadap sekolah Kristen dan lembaga misi yang semua ditolakkarena dikhawatirkan memancing reaksi keras kaum Muslim, mulai diberikan secara besar-besaran. Kebijakan ini menunjukkan bahwa netralitas dalam agama adalah ilusi belaka. Idenburg yang menjabat Gubernur Jenderal dari 1906-1916, terang-terangan menyatakan dukungannya terhadap kegiatan misi di Indonesia. Dalam salah satu laporannya kepada pemerintah pusat, ia mengatakan, “Saya cukup sibuk dengan Kristenisasi atas daerah-daerah pedalaman.”
Bagi pemerintah kolonial, ancaman dari mereka yang sudah masuk Kristen akan lebih kecil dibandingkan dari kaum Muslim, karena kaum Kristen lebih dapat diajak kerjasama. Tujuan pemerintah kolonial dan misionaris dapat dikerjasamakan. Di satu pihak, pemeritah kolonial memandang koloni mereka sebagai tempat mengeruk keuntungan finansial. Di sisi lain, misionaris memandang koloni mereka sebagai tempat yang diberikan Tuhan untuk memperluas “Kerajaan Tuhan”. (Alwi Shihab, Membandung Arus, hal.37-42; Delier Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, 1990, hal.184-188).
Sikap Islam
Masyarakat Misi Belanda (Dutch Mission Society) yang berdiri tahun 1847 memprioritaskan kerja misionaris ke Indonesia, karena negara yang masyarakatnya sangat bersahabat itu terbukti sulit “ditembus” misi Kristen. Faktor Islam dituding sebagai penyebab kesulitan masuknya misi Injil ke Indonesia. Hendrik Kraemer, seorang misionaris yang ditugaskan Masyarakat Bibel Belanda (Dutch Bible Society) untuk bekerja di Indonesia tahun 1921, menggambarkan kesulitan mengkristenkan kaum Muslim, melalui ungkapannya:
“Islam sebagai masalah misi: tidak ada agama yang untuk (mengkonversi)-nya misi harus membanting tulang dengan hasil yang minimal, dan untuk menghadapinya misi harus mengais-ngaiskan jemarinya hingga berdarah dan terluka, selain Islam. (Dia lanjutkan lagi) yang menjadi teka-teki dari Islam adalah: meskipun sebagai agama kandungannya sangat dangkal dan miskin, Islam melampaui semua agama di dunia dalam hal kekuasaan yang dimiliki, yang dengan itu agama tersebut mencengkeram erat semua yang memeluknya.” (Alwi Shihab, Membendung Arus, hal. 38).
Dalam perspektif inilah, kita bisa memahami, mengapa kaum Katolik sangat mengagungkan tokoh misionaris seperti Van Lith. Ia dianggap sebagai sosok yang mampu menjebol pertahanan orang Jawa yang sebelumnya telah menyatu dengan budaya Islam. Bagi umat Islam, pemurtadan dipandang sebagai usaha serius sebagai bentuk penyerangan aqidah Islam. Orang yang keluar dari Islam disebut murtad dari agama Allah. Amalnya sia-sia. Amal-amal orang kafir laksana fatamorgana. (QS 24:39).
Kaum Muslim memahami, upaya-upaya penyesatan atau pemurtadan terhadap kaum Muslim bukanlah hal aneh. Disebutkan dalam al-Quran, yang artinya: ”Dan mereka akan selalu memerangi kamu, sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), jika mereka sanggup.” (QS Al Baqarah:217).
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi penyesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka jahannam orang-orang kafir itu akan dikumpulkan.” (QS Al Anfal:36).
Dalam menafsirkan ayat tersebut, Prof. Hamka menulis dalam Tafsir al-Azhar Juzu’ IX):
“Perhatikanlah betapa di zaman sekarang, orang-orang menghambur-hamburkan uang berjuta-juta dolar tiap tahun, bahkan tiap bulan, untuk menghalang-halangi jalan Allah yang telah dipegang teguh oleh kaum Muslimin. Perhatikanlah betapa zending dan misi Kristen dari negara-negara Barat memberi belanja penyebaran agama Kristen ke tanah-tanah dan negeri-negeri Islam. Diantara penyebaran Kristen dan penjajahan Barat terdapat kerjasama yang erat guna melemahkan keyakinan umat Islam kepada agamanya. Sehingga ada yang berkata bahwa, meskipun orang Islam itu tidak langsung menukar agamanya, sekurang-kurangnya bila mereka tidak mengenal agamanya lagi, sudahlah suatu keuntungan besar bagi mereka. Jika bapa-bapanya dan ibu-ibunya masih saja berkuat memegang iman kepada Allah dan Rasul, moga-moga dengan sistem pendidikan secara baru, jalan fikiran si anak hendaknya berubah sama sekali dengan jalan fikiran kedua orang tuanya. Demikian juga propaganda anti-agama, mencemohkan agama, dan menghapuskan kepercayaan sama sekali kepada adanya Allah, itu pun dikerjakan pula oleh orang kafir dengan mengeluarkan belanja yang besar. Yang menjadi sasaran tiada lain dari pada negeri-negeri Islam. Disamping itu ada lagi usaha merusakkan moral pemuda di negeri-negeri Islam, dengan menyebarluaskan majalah-majalah, buku-buku yang menimbulkan rangsangan nafsu dan syahwat, gambar-gambar porno, film-film cabul perusak jiwa pemuda yang baru bangkit pancaroba. Sasarannya tidak lain melainkan pemuda-pemuda di negeri Islam juga.”
Wallahu a’lam bish-shawab. [Dr Adian Husaini - adianhusaini.com].
Tag :
Islamophobia
0 Komentar untuk "Jejak Akar Kristenisasi Di Indonesia"