Menjadi Jihadis dengan Sikap Pertengahan

Dalam proses pembangunan kekuatan menuju keberhasilan dalam menegakkan Islam, para aktivis akan senantiasa berhadapan dengan konsekuensi, antara ditangkap, dipenjara, dibunuh, atau diusir. Tidak ada pilihan yang keempat, sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah:
وَإِذْ يَمْكُرُ بِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِيُثْبِتُوكَ أَوْ يَقْتُلُوكَ أَوْ يُخْرِجُوكَ وَيَمْكُرُونَ وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.” (Al- Anfaal: 30)
إِنْ يَثْقَفُوكُمْ يَكُونُوا لَكُمْ أَعْدَاءً وَيَبْسُطُوا إِلَيْكُمْ أَيْدِيَهُمْ وَأَلْسِنَتَهُمْ بِالسُّوءِ وَوَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ
“Jika mereka menangkap kamu, niscaya mereka bertindak sebagai musuh bagimu dan melepaskan tangan dan lidah mereka kepadamu dengan menyakiti (mu); dan mereka ingin supaya kamu (kembali) kafir.” (Al-Mumtahanah: 2)
Ketiga konsekuensi tadi sudah menjadi sunatullah yang berulang setiap masa. Merupakan satu paket hukum “aksi–reaksi”. Selama aksinya sama, reaksinya pun akan sama. Demikian terus berlangsung sepanjang jaman.
Maka siapa pun yang akan melakukan aksi, maka sudah harus menyiapkan antisipasi untuk menghadapi reaksi yang sudah bisa diprediksi tidak akan jauh berbeda dengan zaman sebelumnya. Itu semua adalah satu bentuk upaya, sesuai yang sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam dan para shahabatnya. Untuk hasilnya, itu adalah urusan Allah ta’ala.
Tidak bisa dipungkiri, bagi mereka yang meretas jalan istiqamah akan dihadapkan antara dua keadaan. Satu sisi ada rasa ketakutan dan kekhawatiran akan risiko diri maupun keluarganya, sehingga tidak jarang ketika faktor ini yang lebih dominan, para aktivis cenderung mlempem dan penakut. Tapi di sisi lain, ada dominasi rasa optimis dan keberanian menanggung risiko, yang berakibat melaksanakan tindakan dengan ukuran pribadi, tidak memikirkan efek yang akan muncul setelah itu.
Perlu digarisbawahi oleh para aktivis bahwa, Ahlus Sunnah adalah mereka yang selalu i’tidal (adil) dan tawashuth (proporsional). Berpikir dan bersikap senantiasa mengacu pada pertimbangan, tidak ifroth dan tidak tafrith, tidak ghuluw dan tidak pula taqshir. Termasuk dalam menghadapi konsekuensi-konsekuensi perjuangan, mereka pun bersikap proporsional. Takut tapi tidak berlebih, berani namun tidak kebablasan.
Takut adalah hal wajar bagi seorang Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam pun tidak menyalahkan seorang mukmin yang memiliki rasa takut. Hanya, rasa takut perlu dikelola dan dihilangkan atau setidaknya diminimalisir. Salah satunya adalah dengan doa. Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam mengajarkan kepada kita agar senantiasa ingat dan membacanya di pagi dan sore hari:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ الْهَمِّ وَالْحَزَنِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ الْجُبْنِ و الْبُخْلِ ، وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ غَلَبَةِ الدَّيْنِ قَهْرِ الرِّجَالِ
“Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada Engkau dari kekhawatiran dan kesedihan dan aku berlindung kepada Engkau dari lemah kemampuan dan lemah kemauan (malas) dan aku berlindung kepada Engkau dari kepengecutan dan kekikiran dan aku berlindung kepada Engkau dari lilitan hutang dan tekanan musuh.” (HR. Abu Dawud)
Rasa takut pernah juga menghinggapi para sahabat ketika mereka melaksanakan tugas yang berbahaya. Dan ternyata salah satu cara menghilangkan rasa ketakutan itu adalah dengan membangun kebersamaan dengan para ikhwah. Keberanian untuk menolong, melindungi bahkan berkorban, muncul ketika antar sesama ikhwah saling memotivasi, mengingatkan dan memberi sugesti. Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّى يُهَاجِرُوا وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلا عَلَى قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikit pun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (Akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Anfaal: 72)
Tentunya bangunan keberanian yang dicapai oleh sekelompok ikhwah dalam menghilangkan ketakutan senantiasa dibangun di atas kesiapsiagaan. Tidak terlena dengan situasi dan tidak tertipu dengan kondisi.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا خُذُوا حِذْرَكُمْ فَانْفِرُوا ثُبَاتٍ أَوِ انْفِرُوا جَمِيعًا
“Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu, dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama!” (An-Nisaa’: 71)
Demikian pula ketika Allah ta’ala menggambarkan pelaksanaan waspada dalam shalat Khauf.
‘Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.” (An-Nisa’: 102)
Semoga Allah menjadikan kita memiliki keberanian dan tingkat kewaspadaan yang sesuai dengan keinginan Allah dalam syariat-Nya. Aamiin.  [Kiblat.net]
Tag : Hot News
0 Komentar untuk "Menjadi Jihadis dengan Sikap Pertengahan"

Postingan Populer

Back To Top